Wednesday 29 October 2014

Tanam paksa & Usaha swasta


1.      Latar Belakang Timbulnya Sistem Tanam Paksa
Sejak awal abad ke-19, pemerintah Belanda mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk membiayai peperangan, baik di Negeri Belanda sendiri (pemberontakan Belgia) maupun di Indonesia (terutama perlawanan Diponegoro) sehingga Negeri Belanda harus menanggung hutang yang sangat besar.
Latar belakang sistem tanam paksa adalah :
  1. Di Eropa, Belanda terlibat dalam peperangan-peperangan pada masa kejayaan Napoleon sehingga menghabiskan dana yang besar.
  2. Terjadinya Perang Kemerdekaan Belgia yang diakhiri dengan pemisahan Belgia dari belanda pada tahun 1830.
  3. Terjadinya perang Diponegoro (1825-1830) yang merupakan perlawanan rakyat jajahan termahal bagi Belanda. Perang Diponegoro menghabiskan biaya sekitar 20.000.000 gulden.
  4. Kas negara Belanda kosong dan utang yang ditanggung Belanda cukup berat.
  5. Pemasukan uang dari penanaman kopi tidak banyak.
  6. Gagal mempraktikan gagasan liberal (1816-1830) berarti gagal juga mengeksploitasi tanah jajahan untuk memberikan keuntungan yang besar pada Belanda
     Maka untuk menutup hutang dilaksanakanlah Cultuur Stelsel atau politik tanam paksa dengan aturan sebagai berikut :
  1. Penduduk menyediakan sebagian tanah mereka untuk ditanami tanaman perdagangan
  2. Tanah untuk tanaman perdagangan tidak boleh melebihi dari 1/5 tanah penduduk
  3. Waktu untuk menanam perdagangan tidak boleh melebihi waktu tanam padi
  4. Tanah untuk tanaman perdagangan dibebaskan dari pajak
  5. Hasil tanaman perdagangan diserahkan pemerintah bila melebihi ketentuan dikembalikan.
  6. Kegagalan panen yang bukan disebabkan petani ditanggung pemerintah      
  7. Penduduk yang tidak punya tanah wajib bekerja di tanah pemerintah selama 66 hari
  8. Penanaman tanaman perdagangan diawasi oleh penguasa lokal 
2.      Aturan-Aturan Tanam Paksa
Sistem tanam paksa yang diajukan oleh Van den Bosch pada dasarnya merupakan gabungan dari sistem tanam wajib (VOC) dan sistem pajak tanah (Raffles) dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
  1. Penduduk desa yang punya tanah diminta menyediakan seperlima dari tanahnya untuk  ditanami tanaman yang laku di pasaran dunia.
  2. Tanah yang disediakan bebas dari pajak.
  3. Hasil tanaman itu harus diserahkan kepada pemerintah Belanda. Apabila harganya melebihi pembayaran pajak maka kelebihannya akan dikembalikan kepada petani.
  4. Waktu untuk menanam tidak boleh melebihi waktu untuk menanam padi.
  5. Kegagalan panenan menjadi tanggung jawab pemerintah.
  6. Wajib tanam dapat diganti dengan penyerahan tenaga untuk dipekerjakan di pengangkutan, perkebunan, atau di pabrik-pabrik selama 66 hari.
  7. Penggarapan tanaman di bawah pengawasan langsung oleh kepalakepala pribumi, sedangkan pihak Belanda bertindak sebagai pengawas secara umum.

3.      Praktik dan Penyelewengan Sistem Tanam Paksa
Melihat aturan-aturannya, sistem tanam paksa tidak terlalu memberatkan, namun pelaksanaannya sangat menekan dan memberatkan rakyat. Adanya cultuur procent menyangkut upah yang diberikan kepada penguasa pribumi berdasarkan besar kecilnya setoran, ternyata cukup memberatkan beban rakyat. Untuk mempertinggi upah yang diterima, para penguasa pribumi berusaha memperbesar setoran, akibatnya timbulah penyelewengan-penyelewengan, antara lain sebagai berikut.
  1. Tanah yang disediakan melebihi 1/5, yakni 1/3 bahkan 1/2, malah ada seluruhnya, karena seluruh desa dianggap subur untuk tanaman wajib.
  2. Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani.
  3. Tenaga kerja yang semestinya dibayar oleh pemerinah tidak dibayar.
  4. Waktu yang dibutuhkan tenyata melebihi waktu penanaman padi.
  5. Perkerjaan di perkebunan atau di pabrik, ternyata lebih berat daripada di sawah
  6. Kelebihan hasil yang seharusnya dikembalikan kepada petani, ternyata
    tidak dikembalikan.
4.      Sebab – Sebab Dilaksanakannya Usaha Swasta dan Diakhirinya Tanam Paksa
Sistem tanam paksa yang mengakibatkan kemelaratan bagi bangsa Indonesia, khususnya Jawa, akhirnya menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, seperti berikut ini.
1) Golongan Pengusaha
Golongan ini menghendaki kebebasan berusaha. Mereka menganggap bahwa tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal.
2) Baron Van Hoevel
Ia adalah seorang missionaris yang pernah tinggal di Indonesia (1847). Dalam perjalanannya di Jawa, Madura dan Bali, ia melihat penderitaan rakyat Indonesia akibat tanam paksa. Ia sering melancarkan kecaman terhadap pelaksanaan tanam paksa. Setelah pulang ke Negeri Belanda dan terpilih sebagai anggota parlemen, ia semakin gigih berjuang dan menuntut agar tanam paksa dihapuskan.
·       Eduard Douwes Dekker
Ia adalah seorang pejabat Belanda yang pernah menjadi Asisten Residen Lebak (Banten). Ia cinta kepada penduduk pribumi, khususnya yang menderita akibat tanam paksa. Dengan nama samaran Multatuli yang berarti “aku telah banyak menderita”, ditulisnya buku Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda (1859) yang menggambarkan penderitaan rakyat akibat tanam paksa dalam kisah Saijah dan Adinda.
Akibat adanya reaksi tersebut, pemerintah Belanda secara berangsurangsur menghapuskan sistem tanam paksa. Nila, teh, kayu manis dihapuskan pada tahun 1865, tembakau tahun 1866, kemudian menyusul tebu tahun 1884. Tanaman terakhir yang dihapus adalah kopi pada tahun 1917 karena paling banyak memberikan keuntungan. 
5.      Dampak Tanam Paksa dan Usaha Swasta 
a. Dampak Tanam Paksa
Pelaksanaan sistem tanam paksa banyak menyimpang dari aturan pokoknya dan cenderung untuk mengadakan eskploitasi agraris semaksimal mungkin. Oleh karena itu, sistem tanam paksa menimbulkan akibat sebagai berikut.
1) Bagi Indonesia (Khususnya Jawa)
a)    Sawah ladang menjadi terbengkelai karena diwajibkan kerja rodi yang berkepanjangan sehingga penghasilan menurun drastis.
b)   Beban rakyat semakin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panennya, membayar pajak, mengikuti kerja rodi, dan menanggung risiko apabila gagal panen. Akibat bermacam-macam beban menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan.
c)    Timbulnya bahaya kemiskinan yang makin berat.
d)   Timbulnya bahaya kelaparan dan wabah penyakit di mana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis. Bahaya kelaparan menimbulkan korban jiwa yang sangat mengerikan di daerah Cirebon (1843), Demak (1849), dan Grobogan (1850). Kejadian ini mengakibatkan jumlah penduduk menurun drastis. Di samping itu, juga terjadi penyakit busung lapar (hongorudim) di mana-mana.
2) Bagi Belanda.
Apabila sistem tanam paksa telah menimbulkan malapetaka bagi bangsa Indonesia, sebaliknya bagi bangsa Belanda ialah sebagai berikut:
a) Keuntungan dan kemakmuran rakyat Belanda.
b) Hutang-hutang Belanda terlunasi.
c) Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja.
d) Kas Negeri Belanda yang semula kosong dapat terpenuhi.
e) Amsterdam berhasil dibangun menjadi kota pusat perdagangan dunia.
f) Perdagangan berkembang pesat.
b. Dampak Usaha Swasta
Awal mula dibentuknya usaha swasta itu untuk mengurangi penderitaan bagi para rakyat pribumi. Namun dalam praktiknya tetap saja terjadi penyelewengan dan ketidaksesuaian dengan tujuan awalnya. Sehingga bagi rakyat Bumiputera pelaksanaan usha swasta ini tetap membawa penderitaan.
Pertanian mereka semakin merosot. Pelaksanaan kerja paksa masih terus berlangsung seperti pembangunan jalan raya, jembatan, jalan kereta api, saluran irigasi, benteng, dan sebagainya.
Di samping adanya kerja paksa, rakyat harus membayar pajak, sementara hasil panen mereka menurun. Hasil kerajinan mereka juga mengalami kemunduran karena munculnya alat – alat yang modern.

No comments:

Post a Comment