1.
Latar
Belakang Timbulnya Sistem Tanam Paksa
Sejak awal
abad ke-19, pemerintah Belanda mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk
membiayai peperangan, baik di Negeri Belanda sendiri (pemberontakan Belgia)
maupun di Indonesia (terutama perlawanan Diponegoro) sehingga Negeri Belanda
harus menanggung hutang yang sangat besar.
Latar
belakang sistem tanam paksa adalah :
- Di Eropa, Belanda terlibat dalam
peperangan-peperangan pada masa kejayaan Napoleon sehingga menghabiskan
dana yang besar.
- Terjadinya Perang Kemerdekaan Belgia yang
diakhiri dengan pemisahan Belgia dari belanda pada tahun 1830.
- Terjadinya perang Diponegoro (1825-1830) yang
merupakan perlawanan rakyat jajahan termahal bagi Belanda. Perang
Diponegoro menghabiskan biaya sekitar 20.000.000 gulden.
- Kas negara Belanda kosong dan utang yang
ditanggung Belanda cukup berat.
- Pemasukan uang dari penanaman kopi tidak banyak.
- Gagal mempraktikan gagasan liberal (1816-1830)
berarti gagal juga mengeksploitasi tanah jajahan untuk memberikan
keuntungan yang besar pada Belanda
Maka untuk menutup hutang dilaksanakanlah Cultuur
Stelsel atau politik tanam paksa dengan aturan sebagai berikut :
- Penduduk menyediakan sebagian tanah mereka untuk
ditanami tanaman perdagangan
- Tanah untuk tanaman perdagangan tidak boleh
melebihi dari 1/5 tanah penduduk
- Waktu untuk menanam perdagangan tidak boleh
melebihi waktu tanam padi
- Tanah untuk tanaman perdagangan dibebaskan dari
pajak
- Hasil tanaman perdagangan diserahkan pemerintah
bila melebihi ketentuan dikembalikan.
- Kegagalan panen yang bukan disebabkan petani
ditanggung pemerintah
- Penduduk yang tidak punya tanah wajib bekerja di
tanah pemerintah selama 66 hari
- Penanaman tanaman perdagangan diawasi oleh
penguasa lokal
2.
Aturan-Aturan
Tanam Paksa
Sistem tanam
paksa yang diajukan oleh Van den Bosch pada dasarnya merupakan gabungan dari
sistem tanam wajib (VOC) dan sistem pajak tanah (Raffles) dengan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
- Penduduk desa yang punya tanah diminta
menyediakan seperlima dari tanahnya untuk ditanami
tanaman yang laku di pasaran dunia.
- Tanah yang disediakan bebas dari pajak.
- Hasil tanaman itu harus diserahkan kepada
pemerintah Belanda. Apabila harganya melebihi pembayaran pajak maka
kelebihannya akan dikembalikan kepada petani.
- Waktu untuk menanam tidak boleh melebihi waktu
untuk menanam padi.
- Kegagalan panenan menjadi tanggung jawab
pemerintah.
- Wajib tanam dapat diganti dengan penyerahan
tenaga untuk dipekerjakan di pengangkutan, perkebunan, atau di
pabrik-pabrik selama 66 hari.
- Penggarapan tanaman di bawah pengawasan langsung
oleh kepalakepala pribumi, sedangkan pihak Belanda bertindak sebagai
pengawas secara umum.
3.
Praktik dan
Penyelewengan Sistem Tanam Paksa
Melihat
aturan-aturannya, sistem tanam paksa tidak terlalu memberatkan, namun
pelaksanaannya sangat menekan dan memberatkan rakyat. Adanya cultuur procent
menyangkut upah yang diberikan kepada penguasa pribumi berdasarkan besar
kecilnya setoran, ternyata cukup memberatkan beban rakyat. Untuk mempertinggi
upah yang diterima, para penguasa pribumi berusaha memperbesar setoran,
akibatnya timbulah penyelewengan-penyelewengan, antara lain sebagai berikut.
- Tanah yang disediakan melebihi 1/5, yakni 1/3
bahkan 1/2, malah ada seluruhnya, karena seluruh desa dianggap subur untuk
tanaman wajib.
- Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani.
- Tenaga kerja yang semestinya dibayar oleh
pemerinah tidak dibayar.
- Waktu yang dibutuhkan tenyata melebihi waktu
penanaman padi.
- Perkerjaan di perkebunan atau di pabrik, ternyata
lebih berat daripada di sawah
- Kelebihan hasil yang seharusnya dikembalikan
kepada petani, ternyata
tidak dikembalikan.
4.
Sebab –
Sebab Dilaksanakannya Usaha Swasta dan Diakhirinya Tanam Paksa
Sistem tanam
paksa yang mengakibatkan kemelaratan bagi bangsa Indonesia, khususnya Jawa,
akhirnya menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, seperti berikut ini.
1) Golongan Pengusaha
1) Golongan Pengusaha
Golongan ini
menghendaki kebebasan berusaha. Mereka menganggap bahwa tanam paksa tidak
sesuai dengan ekonomi liberal.
2) Baron Van
Hoevel
Ia adalah
seorang missionaris yang pernah tinggal di Indonesia (1847). Dalam
perjalanannya di Jawa, Madura dan Bali, ia melihat penderitaan rakyat Indonesia
akibat tanam paksa. Ia sering melancarkan kecaman terhadap pelaksanaan tanam
paksa. Setelah pulang ke Negeri Belanda dan terpilih sebagai anggota parlemen,
ia semakin gigih berjuang dan menuntut agar tanam paksa dihapuskan.
·
Eduard
Douwes Dekker
Ia adalah
seorang pejabat Belanda yang pernah menjadi Asisten Residen Lebak (Banten). Ia
cinta kepada penduduk pribumi, khususnya yang menderita akibat tanam paksa.
Dengan nama samaran Multatuli yang berarti “aku telah banyak menderita”,
ditulisnya buku Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda (1859)
yang menggambarkan penderitaan rakyat akibat tanam paksa dalam kisah Saijah dan
Adinda.
Akibat
adanya reaksi tersebut, pemerintah Belanda secara berangsurangsur menghapuskan
sistem tanam paksa. Nila, teh, kayu manis dihapuskan pada tahun 1865, tembakau
tahun 1866, kemudian menyusul tebu tahun 1884. Tanaman terakhir yang dihapus
adalah kopi pada tahun 1917 karena paling banyak memberikan keuntungan.
5.
Dampak Tanam
Paksa dan Usaha Swasta
a. Dampak
Tanam Paksa
Pelaksanaan
sistem tanam paksa banyak menyimpang dari aturan pokoknya dan cenderung untuk
mengadakan eskploitasi agraris semaksimal mungkin. Oleh karena itu, sistem
tanam paksa menimbulkan akibat sebagai berikut.
1) Bagi
Indonesia (Khususnya Jawa)
a) Sawah ladang menjadi terbengkelai karena diwajibkan
kerja rodi yang berkepanjangan sehingga penghasilan menurun drastis.
b) Beban rakyat semakin berat karena harus menyerahkan
sebagian tanah dan hasil panennya, membayar pajak, mengikuti kerja rodi, dan
menanggung risiko apabila gagal panen. Akibat bermacam-macam beban menimbulkan
tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan.
c) Timbulnya bahaya kemiskinan yang makin berat.
d) Timbulnya bahaya kelaparan dan wabah penyakit di
mana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis. Bahaya kelaparan
menimbulkan korban jiwa yang sangat mengerikan di daerah Cirebon (1843), Demak
(1849), dan Grobogan (1850). Kejadian ini mengakibatkan jumlah penduduk menurun
drastis. Di samping itu, juga terjadi penyakit busung lapar (hongorudim) di
mana-mana.
2) Bagi
Belanda.
Apabila
sistem tanam paksa telah menimbulkan malapetaka bagi bangsa Indonesia,
sebaliknya bagi bangsa Belanda ialah sebagai berikut:
a)
Keuntungan dan kemakmuran rakyat Belanda.
b)
Hutang-hutang Belanda terlunasi.
c)
Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja.
d) Kas
Negeri Belanda yang semula kosong dapat terpenuhi.
e) Amsterdam
berhasil dibangun menjadi kota pusat perdagangan dunia.
f) Perdagangan
berkembang pesat.
b. Dampak
Usaha Swasta
Awal mula
dibentuknya usaha swasta itu untuk mengurangi penderitaan bagi para rakyat
pribumi. Namun dalam praktiknya tetap saja terjadi penyelewengan dan
ketidaksesuaian dengan tujuan awalnya. Sehingga bagi rakyat Bumiputera
pelaksanaan usha swasta ini tetap membawa penderitaan.
Pertanian
mereka semakin merosot. Pelaksanaan kerja paksa masih terus berlangsung seperti
pembangunan jalan raya, jembatan, jalan kereta api, saluran irigasi, benteng,
dan sebagainya.
Di samping
adanya kerja paksa, rakyat harus membayar pajak, sementara hasil panen mereka
menurun. Hasil kerajinan mereka juga mengalami kemunduran karena munculnya alat
– alat yang modern.